Tuesday, October 29, 2013

Benarkah Imam Asy Syafie Mengharamkan Kenduri Arwah ?




MUQODDIMAH

Mengusik amalan seseorang Muslim dengan menukil pernyataan Ulama dari kitab Muktabar secara serampangan (mengguting-gunting kalimat) merupakan perbuatan keji dan sangat tidak berakhlak. Selain termasuk telah menyembunyikan kebenaran, juga termasuk telah memfitnah Ulama yang perkataannya telah mereka nukil, merendahkan kitab Ulama dan juga telah menipu kaum Muslimin. Dakwah mereka benar-benar penuh kepalsuan dan kebohongan. Mengatas namakan Madzhab Syafi’I untuk menjatuhkan amalan Tahlil, sungguh mereka keji juga dengki.

Kitab I’anatuth Thalibin (إعانة الطالبين) adalah kitab Fiqh karangan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyatiy Asy-Syafi’i, yang merupakan syarah dari kitab Fathul Mu’in, Kitab ini sangat masyhur dikalangan masyarakat Indonesia dan juga salah satu kitab yang menjadi rujukan pengikut madzhab Syafi’iyyah dalam ilmu Fiqh diseluruh dunia. Namun, sayang, ada sebagain kecil kalangan yang tidak bermadzhab Syafi’i (anti Madzhab), mengaku pengikut salaf, mencomot-comot isi kitab ini untuk mengharamkan Tahlilan yang merupakan amalan sudah masyhur dikalangan pengikut madzhab Syafi’i. Bukannya berdakwah secara benar namun yang mereka lakukan, malah menunjukkan kedengkian hati mereka dan ketidak jujuran mereka dalam menukil perkataan ulama. Ini hanya salah satu kitab yang kami coba luruskan dari nukilan tidak jujur yang telah mereka lakukan, masih banyak lagi kitab Ulama yang dicomot serampangan oleh mereka, seperti kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmu’ Syarah Muhadzab Imam An-Nawawi, Mughni al-Muhtaaj ilaa Ma’rifati Ma’aaniy Alfaadz Al Minhaj, dan kitab-kitab ulama lainnya.

*PEMBAHASAN

Setidak-tidaknya ada 5 pernyataan yang kami temukan, yang mereka comot dari kitab I’anah at-Thalibin secara tidak jujur dan memelintir (mensalah-pahami) maksud dari pernyataan tersebut untuk mengharamkan Tahlilan. Ini banyak dicantumkan disitus-situs mereka dan dikutip oleh sesama mereka secara serampangan pula. Berikut ini yang mereka nukil secara tidak jujur, yang punya kitab i'anah at-tholibin silahkan di teliti langsung.
1. Teks arabnya ; (نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر) 
Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya, dengannya Allah akan kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat mendukung Islam dan muslimin” (I’anatuth Thalibin, 2/165)

2. Teks arabnya ;
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة 
“Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.

3. Teks arabnya ; وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم “Dalam Kitab Al Bazaz : Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.

4. “Dan diantara bid’ah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146).

5. “Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan BID’AH, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146).

Point kelima  itulah yang mereka comot secara serampangan dan menterjemahkannya dengan memelintir maknanya. Kami akan mulai membahas point-point diatas, sebagai berikut :
=========================================================== 

POINT PERTAMA (1) : Nukilan diatas merupakan bentuk ketidakjujuran, dimana orang yang membacanya akan mengira bahwa berkumpul di tempat ahlu (keluarga) mayyit dan memakan makanan yang disediakan adalah termasuk bid’ah Munkarah, padahal bukan seperti itu yang dimaksud oleh kalimat tersebut. Mereka telah menggunting (menukil secara tidak jujur) kalimat tersebut sehingga makna (maksud) yang dkehendaki dari kalimat tersebut menjadi kabur. Padahal, yang benar, bahwa kalimat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan sebelumnya. Itu sebabnya, kalimat yang mereka nukil dimulai dengan kata “na’am (iya)”. 

~Berikut teks lengkapnya;
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ 
“Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga) mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitu mengenai (bagaimana) pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa), tentang kebiasaan (urf) yang khusus di suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal, kemudian para pentakziyah hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (pelarangan itu) ?

أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور. (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
“Penjelasan sebagai jawaban terhadap apa yang telah di tanyakan, (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده, Ya .. Allah aku memohon kepada-Mu supaya memberikan petunjuk kebenaran”.Iya.., apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah agama dan mendorong Islam serta umat Islam”
Betapa apa yang dikehendaki dari pernyataan diatas telah keluar konteks saat pertanyaannya dipotong sebagaimana nukilan mereka dan ini yang mereka gunakan untuk melarang Tahlilan. 
Ketidak jujuran ini yang mereka dakwahkan untuk menipu umat Islam atas nama Kitab I’anatuth Thalibin dan Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i.

Dalam pertanyaan dan jawaban diatas, yang sebenarnya termasuk bagian dari bid’ah Munkarah adalah kebiasaan pentakziyah menunggu makanan (بأنهم ينتظرون الطعام) di tempat ahlu (keluarga) yang terkena mushibah kematian, akal sehat pun akan menganggap bahwa kebiasaan itu tidak wajar dan memang patut untuk di hentikan. Maka, sangat wajar juga bahwa Mufti diatas menyatakan kebiasaan tersebut sebagai bid’ah Munkarah, dan penguasa yang menghentikan kebiasaan tersebut akan mendapat pahala. Namun, karena keluasan ilmu dari Mufti tersebut tidak berani untuk menetapkan hukum “Haram” kecuali jika memang ada dalil yang jelas dan sebab-sebabnya pun luas.
Tentu saja, Mufti tersebut kemungkinan akan berkata lain jika membahasnya pada sisi yang lebih umum (bukan tentang kasus yang ditanyakan), dimana pentakziyah datang untuk menghibur, menyabarkan ahlu (keluarga) mayyit bahkan membawa (memberi) bantuan berupa materi untuk pengurusan mayyit dan untuk menghormati pentakziyah yang datang.

Pada kegiatan Tahlilan orang tidak akan datang ke rumah ahlul mushibah dengan kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak tuan rumah. Jika tuan rumah merasa berat tentu saja tidak perlu mengadakan tahlilan dan tidak perlu mengundang. Namun, siapa yang lebih mengerti dan paham tentang “memberatkan” atau “beban” terhadap keluarga mayyit sehingga menjadi alasan untuk melarang kegiatan tersebut, apakah orang lain atau ahlu (keluarga) mayyit itu sendiri ? tentu saja yang lebih tahu adalah ahlu (keluarga) mayyit. Keinginan ahlu (keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan dan mengundang tetangga atau orang lain untuk datang ke kediamannya merupakan pertanda ahlu (keluarga) mayyit memang menginginkannya dan tidak merasa keberatan, sementara para tetangga (hadirin) yang diundang sama sekali tidak memaksa ahlu (keluarga) mayyit untuk mengadakan tahlilan. Ahlu (keluarga) mayyit mengetahui akan dirinya sendiri bahwa mereka mampu dan dengan senang hati beramal untuk kepentingan saudaranya yang meninggal dunia, sedangkan hadirin hanya tahu bahwa mereka di undang dan memenuhi undangan ahlu (keluarga) mayyit.

Sungguh betapa sangat menyakitkan hati ahlu (keluarga) mayyit jika undangannya tidak dipenuhi dan bahkan makanan yang dihidangkan tidak dimakan atau tidak disentuh. Manakah yang lebih utama, melakukan amalan yang “dianggap makruh” dengan menghibur ahlu (keluarga) mayyit, membuat hati ahlu (keluarga) mayyit senang atau menghindari “yang dianggap makruh” dengan menyakiti hati ahlu (keluarga) mayyit ? Tentu saja akan yang sehat pun akan menilai bahwa menyenangkan hati orang dengan hal-hal yang tidak diharamkan adalah sebuah kebaikan yang berpahala, dan menyakiti perasaannya adalah sebuah kejelekan yang dapat berakibat dosa.

Disisi yang lain antara ahlu (keluarga) mayyit dan yang diundang, sama-sama mendapatkan kebaikan. Dimana ahlu (keluarga) mayyit telah melakukan amal shaleh dengan mengajak orang banyak mendo’akan anggota keluarga yang meninggal dunia, bersedekah atas nama mayyit, dan menghormati tamu dengan cara memberikan makanan dan minuman. Pada sisi yang di undang pun sama-sama melakukan amal shaleh dengan memenuhi undangan, mendo’akan mayyit, berdzikir bersama, menemani dan menghibur ahlu (keluarga) mayyit. Manakah dari hal-hal baik tersebut yang diharamkan ? Sungguh ulama yang mumpuni benar-benar bijaksana dalam menetapkan hukum “makruh” karena melihat dengan seksama adanya potensi “menambah kesedihan atau beban merepotkan”, meskipun jika seandainya hal itu tidak benar-benar ada.

Adanya sebagian kegiatan Tahlilan yang dilakukan oleh orang awam, yang sangat membebani dan menyusahkan, karena ketidak mengertiannya pada dalam masalah agama, secara umum tidak bisa dijadikan alasan untuk menetapkan hukum haram atau terlarang. Bagi mereka lebih pantas diberi tahu atau diajari bukan di hukumi.

Selanjutnya,

Point Kedua (2) : Juga bentuk ketidak jujuran dan mensalah pahami maksud dari kalimat tersebut. Kata yang seharusnya merupakan status hukum namun diterjemahkan sehingga maksud yang terkandung dari pernyataan tersebut menjadi berbeda. Ungkapan-ungkapan ulama seperti akrahu” (saya membenci), “makruh” (dibenci), “yukrahu” (dibenci), “bid’ah munkarah” (bid’ah munkar), “bid’ah ghairu mustahabbah” (bid’ah yang tidak dianjurkan), dan “bid’ah mustaqbahah” (bid’ah yang dianggap jelek), semua itu mereka pahami sebagai larangan yang berindikasi hukum haram mutlak. Padahal didalam kitab tersebut, berkali-kali dinyatakan hukum “makruh” untuk kegiatan berkumpul di rumah ahlu (keluarga) mayyit dan dihidangkan makanan,terlepas dari hokum-hukum perkara lain seperti takziyah, hokum mendo’akan, bersedekah untuk mayyit, dimana semua itu dihukumi sunnah.

~Terjemahan “mereka” :“Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.

~Berikut teksnya (yang benar) وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
“Dan kebiasaaan dari ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk mengundang (mengajak) menusia kepadanya, ini bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana mereka memenuhi ajakan itu, sesuai dengan hadits shahih dari Jarir ra, “Kami (sahabat) menganggap bahwa berkumpul ke ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan (untuk mereka) setelah dikuburnya (mayyit) 

Mereka secara tidak jujur menterjemahkan status hukum “Makruh” pada kalimat diatas dan hal itu sudah menjadi tuntutan untuk tidak jujur bagi mereka sebab mereka telah menolak pembagian bid’ah. Karena penolakan tersebut, maka mau tidak mau mereka harus berusaha memelintir maksud bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh) tersebut.

Padahal bid’ah juga dibagi menjadi lima (5) status hukum namun mereka tolak, sebagaimana yang tercantum dalam kitab al-Imam an-Nawawi yaitu Syarah Shahih Muslim ;

أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة

“Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi 5 macam ; bid’ah yang wajib, mandzubah (sunnah), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (mubah)” [Syarh An-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim, Juz 7, hal 105]

Bila ingin memahami perkataan Ulama madzhab Syafi’I, maka pahami juga istilah-istilah yang ada dan digunakan didalam madzhab Syafi’i. Penolakan mereka terhadap pembagian bid’ah ini, mengandung konsekuensi yang besar bagi mereka sendiri saat dihadapkan dengan kitab-kitab ulama Madzhab Syafi’iyyah, dan untuk menghidarinya, satu-satunya jalan adalah dengan jalan tidak jujur atau mengaburkan maksud yang terkandung dari sebuah kalimat. Siapapun yang mengikuti pemahaman mereka maka sudah bisa dipastikan keliru.

Status hokum yang disebutkan pada kalimat diatas adalah “Makruh”. Makruh adalah makruh dan tetap makruh, bukan haram. Dimana pengertian makruh adalah “Yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi, yaitu mendapat pahala apabila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila di lakukan”. Makruh yang disebutkan diatas, juga terlepas dari hokum takziyah itu sendiri.

Kemudian persoalan “an-Niyahah (meratap)” yang pada hadits Shahih diatas, dimana hadits tersebut juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah ;

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: كُنَّا نَرَى اْلاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ

“Kami (para sahabat) memandang berkumpul di ahlu (keluarga) mayyit dan membuat makanan termasuk bagian dari meratap”“An-Niyahah” memang perbuatan yang dilarang dalam agama. Namun, bukan berarti sama sekali tidak boleh bersedih atau menangis saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia, sedangkan Rasulullah saja menangis mengeluarkan air mata saat cucu Beliau (Fatimah) wafat. Disaat Beliau mencucurkan air mata, (sahabat) Sa’ad berkata kepada Rasulullah ; 

فَقَالَ سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذَا فَقَالَ هَذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللَّهُ فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللَّهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

“..maka Sa’ad berkata ; Ya .. Rasulullah (يَا رَسُولَ اللَّهِ) apakah ini ? “Ini (kesedihan ini) adalah rahmat yang Allah jadikan di hati para hamba-Nya, Allah hanya merahmati hamba-hamba-Nya yang mengasisihi (ruhama’)” [HR. Imam Bukhari No. 1284]Rasulullah juga menangis saat menjelang wafatnya putra Beliau yang bernama Ibrahim, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf,  

فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ ثُمَّ أَتْبَعَهَا بِأُخْرَى فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

“..maka Abdurrahmah bebin ‘Auf berkata kepada Rasulullah, “dan anda wahai Rasulullah ?, Rasulullah berkata, “wahai Ibnu ‘Auf sesungguhnya (tangisan) itu rahmat, dalam sabda yang lain beliau kata, “sesungguhnya mata itu mencucurkan air mata, dan hati bersedih, dan kami tidak mengatakan kecuali apa yang menjadi keridhaan Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang bersedih karena perpisahanku dengan Ibrahim”. [HR. Imam Bukhari No. 1303]

Rasulullah juga menangis di makam ibunda beliau sehingga orang yang bersamanya pun ikut menangis sebagaimana diriwayatkan di dalam hadis-hadis shahih [lihat Mughni al-Muhtaaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj, Al-Allamah Al-Imam Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, Dar el-Fikr, juz 1, hal. 356).

Maka meratap yang sebenarnya dilarang (diharamkan) yang disebut sebagai “An-Niyahah” adalah menangisi mayyit dengan suara keras hingga menggerung apalagi diiringi dengan ekspresi berlebihan seperti memukul-mukul atau menampar pipi,menarik-narik rambut, dan lain sebagainya.

Kembali kepada status hokum “Makruh” diatas, sebagaimana juga dijelaskan didalam Kitab al-Mughniy ;

فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية

“Maka adapun bila ahlu (keluarga) mayyit membuat makanan untuk orang, maka itu Makruh, karena bisa menambah atas mushibah mereka, menambah kesibukan mereka (merepotkan) dan meniru-niru perbuatan Jahiliyah” [Al-Mughniy Juz
II/215]

Makruh bukan haram, dan status hokum Makruh bisa berubah menjadi Mubah (Jaiz/boleh) jika keadaannya sebagaimana digambarkan dalam kitab yang sama, berikut ini ;

وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
“Dan jika melakukannya karena ada (sebab) hajat, maka itu diperbolehkan (Jaiz), karena barangkali diantara yang datang ada yang berasal dari pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tidak bisa (tidak mungkin) kecuali mereka mesti di jamu (diberi hidangan)” [” [Al-Mughniy Juz II/215] 

Selanjutnya,

Point Ketiga (3) : Penukilan (pada point 3) ini juga tidak tepat dan keluar dari konteks, sebab pernyataan tersebut masih terikat dengan kalimat sebelumnya. Dan mereka juga mentermahkan status hukum yang ditetapkan dalam kitab Al-Bazaz.

~Terjemahan Mereka : “Dalam Kitab Al Bazaz: Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.”


~Berikut teks lengkapnya yang benar : 
وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة. روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة. اه. وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ

“Dan (juga) berkata; “dan dimakruhkan penyediaan jamuan besar (الضيافة) dari Ahlu (keluarga) mayyit, karena untuk mengadakankegembiran (شرع في السرور), dan ini adalah bi’dah. Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan isnad yang dshahih, dari Jarir bin Abdullah, berkata ; “kami (sahabat) menganggap berkumpulnya ke (tempat) ahlu (keluarga) mayyit dan menyediakan makanan bagian dari merapat”. Dan didalam kitab Al-Bazaz, “diMakruhkan menyediakan makanan pada hari pertama, ke tiga dan setelah satu minggu dan (juga) dikatakan (termasuk) makanan (yang dibawa) ke kuburan pada musiman”  

Apa yang dijelaskan didalam kitab Al-Bazaz adalah sebagai penguat pernyataan Makruh sebelumnya, jadi masih terkait dengan apa yang disampaikan sebelumnya. Namun sayangnya, mereka menukil separuh-separuh sehingga maksud dari pernyataan tersebut melenceng, parahnya lagi (ketidak jujuran ini) mereka gunakan untuk melarang Tahlilan karena kebencian mereka terhadap kegiatan tersebut dan tidak menjelaskan apa yang sebenarnya dimakruhkan.

Yang dimakruhkan adalah berupa jamuan besar untuk tamu (“An-Dliyafah/الضيافة”) yang dilakukan oleh ahlu (keluarga) mayyit untuk kegembiraan. Status hukum ini adalah makruh bukan haram, namun bisa berubah menjadi jaiz (mubah) sebagaimana dijelaskan pada point 2 (didalam Kitab Al-Mughniy).

Selanjutnya,

Point Ke-Empat (4) : Lagi-lagi mereka menterjemahkan secara tidak jujur dan memenggal-menggal kalimat yang seharunya utuh. 

~Terjemahan mereka ;  “Dan diantara bid’ah yang munkarat yang tidak disukai ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram.” (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146). Mereka telah memotong kalimatnya hanya sampai disitu. Sungguh ini telah pembohongan publik, memfitnah atas nama ulama (Pengarang kitab I’anatuth Thabilibin). 

~Berikut teks lengkapnya (yang benar) ; 

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك
.

“Dan didalam kitab Hasiyatul Jamal ‘alaa Syarh al-Minhaj (karangan Al-‘Allamah asy-Syekh Sulaiman al-Jamal) ; “dan sebagian dari bid’ah Munkarah dan Makruh mengerjakannya, yaitu apa yang dilakukan orang daripada berduka cita, berkumpul dan 40 harian, bahkan semua itu haram jika (dibiayai) dari harta yang terlarang (haram), atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya, atau yang lain sebagainya” 

Begitu jelas ketidak jujuran yang mereka lakukan dan penipuan terhadap umat Islam yang mereka sebarkan melalui website dan buku-buku mereka.

Kalimat yang seharusnya di lanjutkan, di potong oleh mereka. Mereka telah menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari ungkapan ulama yang berasal dari kitab aslinya. Mereka memenggal kalimat secara “seksama” (penipuan yang direncanakan/disengaja) demi tercapainya tujuan mereka yaitu melarang bahkan mengharamkan Tahlilan, seolah olah tujuan mereka didukung oleh pendapat Ulama, padahal hanya didukung oleh tipu daya mereka sendiri yang mengatas namakan ulama. Bukankah hal semacam ini juga termasuk telah memfitnah Ulama ? menandakan bahwa pelakunya berakhlak buruk juga lancang terhadap Ulama ? Ucapan mereka yang katanya menghidupkan sunnah sangat bertolak belakang dengan prilaku penipuan yang mereka lakukan.

Selanjutnya,

Point Ke-Lima (5) : Terjemahan mereka : “Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid’ah munkarat ini adalah menghidupkan Sunnah Nabi SAW , mematikan BID’AH, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan. (I’anatut Thalibin, Sarah Fathul Mu’in, Juz 2 hal. 145-146) Kalimat diatas sebenarnya masih berkaitan dengan kalimat sebelumnya, oleh karena itu harus dipahami secara keseluruhan.

~Berikut ini adalah kelanjutan dari kalimat pada point ke-4 :  

. وقد قال رسول الله (ص) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا. ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا. وقال (ص): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر. وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.

“Dan sungguh Rasulullah bersabda kepada Bilal bin Harits (رضي الله عنه) : “wahai Bilal, barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku setelah dimatikan sesudahku, maka baginya pahala seperti (pahala) orang yang mengamalkannya, tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka (orang yang mengamalkan) dan barangsiapa yang mengada-adakan (membuat) bid’ah dhalalah dimana Allah dan Rasul-Nya tidak akan ridha, maka baginya (dosa) sebagaimana orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”. dan Nabi bersabda ; “Sesungguhnya kebaikan (الخير) itu memiliki khazanah-khazanah, khazanah-khazanah itu ada kunci-kuncinya (pembukanya), Maka berbahagialah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka untuk kebaikan dan pengunci keburukan. Maka, celakalah bagi hamba yang telah Allah jadikan pada dirinya pembuka keburukan dan pengunci kebaikan”

ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم.

“dan tidak ada keraguan bahwa mencegah manusia dari bid’ah Munkarah ini, padanya termasuk menghidupkan as-Sunnah, dan mematikan bagi bid’ah, dan membuka pada banyak pintu kebaikan, dan mengunci kebayakan pintu keburukan.. Maka jika manusia membebani (dirinya) dengan beban yang banyak, itu hanya akan mengantarkan mereka kepada perkara yang diharamkan.

Jika hanya membaca sepintas nukilan dari mereka, akan terkesan seolah-olah adanya pelarangan bahwa berkumpulnya manusia dan makan hidangan di tempat ahlu (keluarga) mayyit adalah diharamkan sebagaimana yang telah mereka nukil secara tidak jujur dipoint-4 atau bahkan ketidak jelasan mengenai bid’ah Munkarah yang dimaksud, padahal pada kalimat sebelumnya (lihat point-4) sudah dijelaskan dan status hukumnya adalah Makruh, namun memang bisa mengantarkan pada perkara yang haram jika membebani dengan beban yang banyak (تكلفا كثيرا) sebagaimana dijelaskan pada akhir-akhir point ke-5 ini dan juga pada point-4 yaitu jika (dibiayai) dari harta yang terlarang , atau dari (harta) mayyit yang memiliki (tanggungan) hutang atau (dari harta) yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.



PENUTUP

Demikian apa yang bisa kami sampaikan sedikit ini untuk meluruskan nukil-nukilan tidak jujur dari “pendakwah salaf” yang katanya “pengikut salaf” namun sayang sekali prilaku mereka sangat bertolak belakang dengan prilaku salaf bahkan lebih buruk.
Kami menghimbau agar jangan terlalu percaya dengan nukilan-nukilan mereka, sebaiknya mengecek sendiri atau tanyakan pada ulama atau ustadz tempat antum masing-masing agar tidak menjadi korban internet dan korban penipuan mereka. Masih banyak kitab ulama lainnya yang mereka pelintir maksudnya. Maka berhati-hatilah, demikian dulu, Wallahu a'lam bis showab..
Sumber http://ashhabur-royi.blogspot.com/2010/09/nukilan-palsu-dari-kitab-ianatuth.htm

Thursday, July 04, 2013

Sejarah Masa Khalifah Umar Bin Khattab

SEJARAH ISLAM MASA
AMIRUL MUKMININ UMAR BIN KHATTAB

1.        Umar sebelum menjadi Khalifah.
Sebelum Masuk Islam:
·      Menurut Imam al-Dzahabi, Umar bin Khattab lahir pada tahun ke-13 setelah Tahun Gajah.
·      Anak dari Khattab (Banu Adi) seorang yang pemberani, cerdas, & sangat dihormati Quraisy dan Ibunya, Hantamah bint Hisyam ibn al-Mughirah; jadi, adiknya Abu Jahl, dan Umar termasuk misanan Khalid ibn al-Walid dari pihak ibu, yang berasal dai Banu Makhzum.
·      Perekonomiannya menengah-bawah, sejak kecil dia harus membantu ayahnya untuk menggembalakan unta atau kambing, dan mengangkat kayu bakar, dan biasanya menggunakan pakaian yang sangat pendek terbuat dari bahan yang sangat kasar.
·      Sejak kecil dia dididik dengan baca tulis, puisi, berkuda, teknik pedang, dan tidak lupa dia juga disuruh untuk menggembala kambing.
·      Ayahnya mendidiknya dengan keras (tidak ada kompromi untuk suatu kesalahan).
·      Hobinya adalah bergulat, minum khamr, bersama wanita2 (terutama saat bulan Haram) dan menunggang kuda.
·      Dia sebenarnya pedagang, tapi tidak bisa kaya sebab kurang bisa bergaul dengan baik, dan setiap ke Syam dia lebih suka berdiskusi menambah pengetahuan dari pada menfokusi perdagangannya.
·      Dia adalah orang yang sangat membenci Islam sebab Islam telah memecah bangsanya bentuknya dengan menganiaya budak islam, ingin membunuh Muhammad.

Masuk Islam & Perjuangan pada masa Nabi:
·      Menurut Imam al-Dzahabi dan masuk Islam pada usia 27 tahun.
·      Masuk islamnya adalah saat dia mendengarkan kebenaran ayat-ayat Allah (QS. Thaha (20): 1 – 8) dan QS. 69:42-47 à kesadaran ilmiah.
·      Setelah masuk islam dialah yang pemberani dan banyak jasa dalam islam:
~  Terang-terangan masuk islam & Hijrah.
~  Mengikuti perang-perang penting (Badr, Uhud, dll).
~  Berani berbeda dengan Nabi, bahkan sering kali pendapatnya menjadi sebab turunnya ayat c: ayat tentang tawanan perang, ayat tentang Hijab, ayat tentang istri-istri Nabi, dll.

Perjuangan pada masa Khalifah Abu Bakar:
·      Orang yang pertama kali membaiat Abu Bakar (menyelamatkan umat islam dari perpecahan).
·      Menjadi Wazir/ wakil dari Abu Bakar, yang seringkali memberikan sumbangan saran/ pendapat kepada Khalifah Abu Bakr dalam memecahkan masalah.
·      Bahkan sering berbeda pendapat c: pengangkatan Usamah, perang melawan orang yang tidak mau membayar zakat, sikap terhadap Khalid bin Walid, dll à tapi tetap obyektif & bisa mendudukkan dengan baik.

2.        Proses terpilihnya Umar bin Khattab menjadi Khalifah.
·      Pada saat sakit, Abu Bakr sadar bahwa potensi hidupnya tidak lama lagi, dab dia harus segera memilih pemimpin penggantinya, karena dia tidak ingin peristiwa Tsaqifah Banu Saidah terjadi lagi.
·      Kemudian Abu Bakr yang sudah mengantongi calonnya yakni Umar bin Khattab, mengajak diskusi beberapa sahabat penting saat itu.
Abdurrahman ibn ‘Awf      :           “Dialah yang mempunyai pandangan terbaik, tetapi dia terlalu keras.”
Utsman ibn Affan  :           “Isi hatinya lebih baik daripada lahirnya. Tak ada orang yang seperti dia di kalangan kita.”.
Thalhah ibn Ubaidillah       :           “Sudah Anda lihat bagaimana ia menghadapi orang padahal Anda ada di sampingnya. Bagaimana pula kalau sudah Anda tinggalkan?”

Juga dengan Sa’id ibn Zaid ibn Amr, Usaid ibn Hudzair, dan beberapa pemuka Muhajirun dan Anshar.
Keluhan Abu Bakar:           “Saya menyerahkan persoalan ini kepada orang yang terbaik dalam hatiku. Tetapi, kalian merasa kesal, karenanya menginginkan yang lain… Ya Allah, yang kuinginkan untuk mereka hanyalah yang terbaik untuk mereka. Aku khawatir mereka dilanda kekacauan.”
Sejumlah orang mendukung pilihannya.
·      Tampaknya, para Sahabat pun belum dapat sama sekali menanggalkan persepsi mereka masing-masing terhadap Umar bin Khattab, yang pada intinya mereka agak keberatan dengan sikap umar yang terlalu keras.
·      Akhir cerita: Abu Bakar berwasiat agar Umar bin Khattab menjadi penggantinya.
·      Reaksi muncul, tetapi agaknya Anshar ada di belakang Umar, Quraisy lain mungkin “tak berani” mengajukan klaim-klaim hak mereka.

3.        Pidato politik Umar bin Khattab dan pembaiatan umat islam kepadanya.
·      Umar menangkap adanya keberatan dari sahabat Nabi terhadap sikapnya yang keras, oleh karena itu, dalam pidato politiknya Umar berusaha meyakinkan kepada umat islam akan kepemimpinannya, dan ternyata dengan komunikasi yang baik, Umar berhasil meyakinkan umat islam saat itu yang kemudian mendukungnya.

PIDATO AWAL AMIRUL MUKMININ

"Saya mendapat kesan, orang merasa takut karena sikap saya yang
keras. Kata mereka Umar bersikap demikian keras kepada kami, sementara
Rasulullah masih berada di tengah-tengah kita, juga bersikap
keras demikian sewaktu Abu Bakr menggantikannya. Apalagi sekarang,
kalau kekuasaan sudah di tangannya. Benarlah orang yang berkata
begitu.
"... Ketika itu saya bersama Rasulullah, ketika itu saya budak dan
pelayannya. Tak ada orang yang mampu bersikap seperti Rasulullah,
begitu ramah, seperti difirmankan Allah: Sekarang sudah datang
kepadamu seorang rasul dari golonganmu sendiri: terasa pedih hatinya
bahwa kamu dalam penderitaan, sangat prihatin ia terhadap kamu,
penuh kasih sayang kepada orang-orang beriman. (Qur'an, 9:128) Di
hadapannya ketika itu saya adalah pedang terhunus, sebelum disarungkan
atau kalau dibiarkan saya akan terus maju. Saya masih bersama
Rasulullah sampai ia berpulang ke rahmatullah dengan hati lega terhadap
saya. Alhamdulillah, saya pun merasa bahagia dengan Rasulullah.
"Setelah itu datang Abu Bakr memimpin Muslimin. Juga sudah
tidak asing lagi bagi Saudara-saudara, sikapnya yang tenang, dermawan
dan lemah lembut. Ketika itu juga saya pelayan dan pembantunya. Saya
gabungkan sikap keras saya dengan kelembutannya. Juga saya adalah
pedang terhunus, sebelum disarungkan atau kalau dibiarkan saya akan terus
maju. Saya masih bersama dia sampai ia berpulang ke rahmatullah dengan
hati lega terhadap saya. Alhamdulillah, saya pun merasa bahagia
dengan Abu Bakr.
"Kemudian sayalah, saya yang akan mengurus kalian. Ketahuilah
Saudara-saudara, bahwa sikap keras itu sekarang sudah mencair. Sikap
itu hanya terhadap orang yang berlaku zalim dan memusuhi kaum
Muslimin. Tetapi buat orang yang jujur, orang yang berpegang teguh
pada agama dan berlaku adil saya lebih lembut dari mereka semua.
Saya tidak akan membiarkan orang berbuat zalim kepada orang lain
atau melanggar hak orang lain. Pipi orang itu akan saya letakkan di
tanah dan pipinya yang sebelah lagi akan saya injak dengan kakiku
sampai ia mau kembali kepada kebenaran. Sebaliknya, sikap saya yang
keras, bagi orang yang bersih dan mau hidup sederhana, pipi saya ini
akan saya letakkan di tanah.
"Dalam beberapa hal, Saudara-saudara berhak menegur saya.
Bawalah saya ke sana; yang perlu Saudara-saudara perhatikan, ialah:
"Saudara-saudara berhak menegur saya agar tidak memungut pajak
atas kalian atau apa pun yang diberikan Allah kepada Saudara-saudara,
kecuali demi Allah; Saudara-saudara berhak menegur saya, jika ada
sesuatu yang di tangan saya agar tidak keluar yang tak pada tempatnya;
Saudara-saudara berhak menuntut saya agar saya menambah penerimaan
atau penghasilan Saudara-saudara, insya Allah, dan menutup segala
kekurangan; Saudara-saudara berhak menuntut saya agar Saudarasaudara
tidak terjebak ke dalam bencana, dan pasukan kita tidak terperangkap ke tangan musuh; kalau Saudara-saudara berada jauh dalam
suatu ekspedisi, sayalah yang akan menanggung keluarga yang menjadi
tanggungan Saudara-saudara.
"Bertakwalah kepada Allah, bantulah saya mengenai tugas Saudara-saudara,
dan bantulah saya dalam tugas saya menjalankan amar ma 'ruf
nahi munkar, dan bekalilah saya dengan nasihat-nasihat Saudara-saudara
sehubungan dengan tugas yang dipercayakan Allah kepada saya
demi kepentingan Saudara-saudara sekalian. Demikianlah apa yang
sudah saya sampaikan, semoga Allah mengampuni kita semua."

4.        Gambaran umum ekspansi islam di era Umar bin Khattab[1]:
634 M:
·      Kekuatan Bizantium dikalahkan di Syiria Selatan.
635 M:
·      Damaskus direbut, dan disusul oleh beberapa kota Syiria yang lainnya.
636 M:
·      Perang Yarmuk, dekat sungai Yordan, menghancurkan sebuah pasukan militer Bizantium yang kuat yang dipimpin oleh saudara Kaisar, yang terbunuh; setelah itu Syiria terbuka; Damaskus direbut kembali.
637 M:
·      Perang Qâdisiyyah, dekat Hirah, menghancurkan tentara Sâsâni yang kuat yang dikomando oleh jenderal utama Rustam yang terbunuh; Irak sebelah barat Tigris terbuka; ibukota Sâsâni, Ctesiphon (Mada’in), Yerusalem direbut; Bashrah dan Kufah didirikan sebagai kota-kota garnisun.
640 M:
·      Caesarea (pelabuhan dekat Palestina) akhirnya direbut, tidak ada kekuatan Bizantium apapun yang tersisa di Syria, Mesir diserbu (berakhir tahun 639) Khûzistân direbut.
641 M:
·      Mosul direbut; tidak ada kekuasaan Sâsâni apapun yang tersisa di sebelah barat pegunungan Zagrosi; perang Nihavand di Zagros membuka (menaklukkan) daerah tersebut dengan menghancurkan tentara Sâsâni yang tersisa; Babilon di Mesir (Fusthâth/Kairo lama) direbut.
642 M:
·      Iskandariah direbut; Barqah (Tripolitania) disergap (642-643); penyergapan-penyergapan ke arah pantai Makran, Iran tenggara.

5.        Kebijakan-kebijakan politik dan pengaturan pemerintahan Umar bin Khattab.
·      Mengatur seluruh strategi perluasan islam bahkan pada beberapa hal sampai dengan strategi teknis.
·      Menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, menindak orang-orang yang dholim dengann tegas (dicopot jabatannya, dll).
·      Membentuk Hakim (Qadhi) di kota besar (Madinah, Syam, Mesir, dan Persia).
·      Membentuk lembaga keuangan dan melakukan sensus penduduk.
·      Mengendalikan seluruh sistem pemerintahan dengan ketat (supervise/ pengendalian ketat).
·      Menekankan keimanan, tanggung jawab sosial diatas pribadi hidup sederhana, keteladanan kepada seluruh wakil-wakilnya didaerah.
·      Umar melarang memberi zakat pada muallaf.
·      Dimulai penanggalan Hijriyah berdasarkan Hijrahnya Umat Islam, sebagai upaya penguatan identitas muslim.
·      Talak tiga sekali ucapan
·      Pembagian harta ghonimah yang tersentral & membentuk departemen keuangan.
·      Melakukan sensus penduduk.
·      Penghapusan nikah mut’ah
·      Melarang mengumpulkan hadits, kemudian membiarkannya.

6.        Selain kebijakan-kebijakan yang progressif, umar juga mengendalikan islam saat itu dengan pola kepemimpinan sosial yang baik, yakni:
·      Pola hidup Umar yang sederhana, dan sangat mengutamakan kesejahteraan umatnya khususnya orang fakir miskin daripada keluarganya sendiri.
·      Kasus saudara Umar yang minta bagian maal lebih banyak, yang ditolak, karena lebih mendahulukan muslim yang mempunyai jasa terhada islam terlebih dahulu, berdasarkan masuknya, dan kualitas jasanya.
·      Kasus anaknya Amr bin Ash yang menganiaya orang miskin yang kemudian dihukum dengan keras.
·      Kasus seorang Yahudi yang mengadu ke Umar karena rumahnya digusur oleh Amr di Mesir, yang kemudian Amr diperingatkan oleh Umar dengan tulang yang digaris dengan pedangnya.
·      Kasus pembantu yang mencuri malah dibela, malah juragannya yang dihukum sebab tidak melaksanakan haknya.
·      Kasus anaknya Umar bin Khattab yang minum Khamr kemudia dihukum 2 kali lipat oleh umar langsung kemudian sakit & meninggal.
·      Saat perjalanan menuju ke Palestina gantian dengan pembantunya serta sikap Umar melihat sambutan mewahnya Muawiyah
·      Kasus saat paceklik Umar hidup prihatin sama seperti rakyatnya, dan senantiasa mengontrol keadaan umatnya, bahkan pada suatu malam ada seorang ibu yang memasak batu untuk menenangkan anaknya karena tidak punya makanan, ketika Umar tahu hal itu, maka dia langsung turun tangan menyelesaikannya saat itu juga. Karena takut akan pertanggung jawaban nantinya diakherat.
·      Sangat takut akan pertanggung jawaban sebagai pemimpin di akherat, sehingga dia benar-benar totalitas untuk membantu umatnya.

7.        Terbunuhnya Umar bin Khattab.
·      Umar meninggal pada tahun 644 pada usia sekitar 52 (ada yang mengatakan 54 dan 60) tahun, akibat luka-luka yang ditikamkan oleh Abu Lulu’ah, budak dari Persia milik Mughirah ibn Syu’bah yang tidak puas atas keputusan Umar menyangkut nasibnya.
·      Sebelum meninggal Umar bin Khattab mnemilih 6 orang dewan Syuro’ untuk memilih penggantinya, dan mereka dilarang memilih anaknya Umar sendiri Abdullah bin Umar (lihat proses pemilihan Utsman).